Transformasi Perguruan Tinggi Swasta Menuju Indonesia Maju (ASTA CITA), Sebuah Paradoks Oleh: Dr. R. Ricky Agusiady, S.E. M.M., Ak., CfrA., CHRM., Ketua ABPPTSI Jawa Barat

 

Onetunejabar.com – Bandung Tansformasi pendidikan tinggi di Indonesia menuju visi Indonesia Maju dan Indonesia Emas tahun 2045 menuntut langkah konkret pada peningkatan kualitas, relevansi kurikulum, penguatan penelitian dan inovasi, serta pemerataan akses pendidikan. Selain itu, konektivitas dengan dunia industri dan pengembangan sumber daya manusia (SDM) yang adaptif juga sangat penting.

Namun, di tengah tuntutan tersebut, terdapat realitas yang cukup paradoksal, terutama bagi Perguruan Tinggi Swasta (PTS). Saat ini, berjumlah 4.000 PTS di Indonesia yang menyediakan sekitar 70%–80% kursi mahasiswa nasional. Sebaliknya, Perguruan Tinggi Negeri (PTN) hanya menampung 20%–30% dari total mahasiswa.

Padahal, Undang-Undang mengamanatkan alokasi 20% anggaran pendidikan nasional untuk pembiayaan pendidikan secara menyeluruh. Namun, pertanyaan besar muncul, berapa porsi dana tersebut yang benar-benar diterima oleh PTS? Faktanya, sebagian besar PTS harus mandiri secara pendanaan, padahal pengelolaannya diwajibkan mematuhi regulasi yang ketat dengan biaya operasional yang tidak kecil.

Badan Penyelenggara PTS menanggung sendiri investasi awal, mulai dari aspek 3M (Man, Money & Material). Mereka pun wajib memisahkan aset untuk kepentingan pendidikan, sedangkan PTN justru sepenuhnya difasilitasi negara, mulai dari tanah, gedung, sarana prasarana, hingga SDM yang notabene berstatus PNS dan dibiayai oleh negara, termasuk pembiayaan pengembangan kariernya melalui APBN.

Tidak berhenti di situ. PTS juga dibebankan kewajiban akreditasi secara berkala. Dengan adanya Lembaga Akreditasi Mandiri (LAM), beban biaya akreditasi semakin tinggi. Padahal, semestinya biaya akreditasi ini menjadi tanggung jawab negara melalui APBN, seperti halnya akreditasi yang dilakukan BAN-PT.

 Dr. R. Ricky Agusiady, S.E. M.M., Ak., CfrA., CHRM., Ketua ABPPTSI Jawa Barat

Lebih ironis lagi, keberadaan Perguruan Tinggi Negeri Badan Hukum (PTN BH) justru memicu persaingan yang tidak seimbang. Dengan dalih otonomi pengelolaan, banyak PTN BH bertindak brutal, dalam industrialisasi pendidikan, berlomba-lomba membuka keran masuk mahasiswa melalui berbagai jalur tanpa kuota yang jelas. Skema SNPMB kini terdiri dari Seleksi Nasional Berdasarkan Prestasi (SNBP) dan Seleksi Nasional Berdasarkan Tes (SNBT). Namun, praktiknya berkembang menjadi multi-jalur, jalur undangan, prestasi, OSIS, talenta, tes, hingga jalur mandiri.

Ironisnya, jalur mandiri PTN BH sering kali dijalankan secara brutal dengan penetapan biaya pendaftaran dan uang kuliah yang sangat tinggi. Jika tujuan inovasi PTN BH adalah untuk generated income, tentu sah-sah saja, asalkan dilakukan dengan cara yang bermartabat. Bukan justru mematikan eksistensi PTS yang sejak awal telah berkontribusi besar dalam pemerataan akses pendidikan tinggi.

Sebenarnya, PTN BH masih punya banyak cara lain untuk meningkatkan pendapatan tanpa harus menekan PTS. Misalnya, melalui komersialisasi hak paten, riset, pemanfaatan sarana-prasarana, pengelolaan unit usaha PTN, atau melalui bantuan pemerintah dan hibah negara donor.


 ASTA CITA dan Peran Strategis PTS

ASTA CITA merangkum delapan prioritas pembangunan: penguatan ketahanan ekonomi, peningkatan SDM berkualitas, pembangunan infrastruktur, reformasi birokrasi, transformasi pelayanan publik, reformasi sosial dan budaya, pemantapan demokrasi dan supremasi hukum, serta pemajuan kehidupan kebangsaan.

PTS memegang peran vital terutama pada poin kedua (peningkatan SDM) dan kelima (transformasi pelayanan publik). Bahkan, jika dikelola dengan strategi berkelanjutan, PTS berpotensi menjadi katalis di hampir seluruh butir ASTA CITA.

Sudah waktunya pemerintah melihat peran PTS sebagai mitra strategis pembangunan bangsa, bukan sekadar pelengkap pendidikan tinggi nasional. Jika visi Indonesia Maju ingin benar-benar terwujud, maka keberpihakan dan kebijakan yang adil bagi PTS harus menjadi prioritas.

Post a Comment

0 Comments